Tuesday, September 30, 2008

Pada Suatu Sore... (01)

daun musim gugur,
Hari ini adalah hari ke-29 Ramadan. Albany diguyur hujan seharian, dan aku merasa sangat kesepian. Kamarku yang nyaman jadi terasa gerah, aku ingin melihat jalan, manusia, dan bicara dengan orang-orang.

Ah, iya, hari ini aku harus mengirim cek pembayaran sewa apartmentku untuk bulan Oktober. Harus ke kantor pos di Stuyvesant Plaza, naik bis nomor 10. Bagus, ada alasan untuk memaksa tubuhku yang malas ini keluar rumah. Jam 4.50 sore aku bergegas ke pemberhentian bis, yang cuma 20 meter dari pintu kamarku. Ternyata baju lapis tigaku masih belum cukup hangat buat menahan dinginnya udara sore itu. Sudahlah. Nanti aku juga banyak berada di dalam ruangan yang hangat.

Bis nomor 10 melintasi jalan-jalan yang biasa kulewati. Aneh rasanya, semua tak lagi terasa baru. Semua terasa biasa, seperti layaknya aku sudah hidup di sini sejak bertahun-tahun yang lalu. Jalanan basah. Pohon-pohon mulai meranggas, daun-daun berganti warna. Merah, kuning, coklat, warna daun-daun itu membuat langit yang kelabu jadi latar yang sempurna. Tapi kenapa ya, hati ini rasanya benar-benar sepi?

Jam 5 sore. Tak banyak yang antre di kantor pos kecil ini. Cek dalam amplop putihku telah siap dikirim dengan perangko seharga 42 sen. Semoga sampai dengan selamat sebelum tanggal 2 Oktober, karena kalau tidak, aku terancam kena denda 100 dollar untuk keterlambatan pembayaran sewa.

Jam 5.05 sore. Langit masih mendung. Lapangan parkir Stuyvesant Plaza masih penuh dengan mobil, dan aku sibuk berpikir tentang nasib usulan undang-undang George Bush untuk mengatasi krisis moneter di negara ini. Aku tidak bisa berhenti berpikir tentang orang-orang Amerika yang memutuskan untuk melakukan reverse mortgage, teman-temanku yang bekerja di dua tempat buat memenuhi kebutuhannya, pusingnya para orangtua mencari pinjaman untuk biaya kuliah anak-anaknya... dan sekali lagi, dalam lima hari terakhir ini, aku merasa agak berdosa, mendapatkan fasilitas dari pemerintah negara ini untuk hidup dengan cukup layak, sekolah di salah satu perguruan tinggi terbaiknya, dengan uang yang diambil dari pajak yang dibayarkan oleh warga negaranya, yang saat ini panik memikirkan nasib dana pensiun mereka yang menguap karena krisis...

Langit abu-abu itu seperti bersekongkol dengan perasaanku. Aku merasa semakin tidak nyaman. Aku ingin menangis (untuk kesekian kalinya sejak aku tiba di sini), entah untuk apa. Aku kangen "peradaban". Aku kangen hari-hari yang tidak terasa saat mereka terlewat, karena aku punya teman buat bicara apa saja. Aku kangen pemandangan indah, wajah-wajah yang tersenyum hangat dan sopan. Aku, akhirnya memutuskan untuk mencoba datang ke Amina Bazaar, toko kecil yang selalu kulewati saat ke pusat kota Albany, yang menuliskan besar-besar di etalasenya, "menjual daging halal"....

5.40. Di dekat Withrop Avenue seorang wanita muslimah naik ke dalam bis yang kutumpangi. Lebih dari sepuluh kali, mungkin, aku ingin mengajak bicara perempuan-perempuan berjilbab yang kutemui di Albany. Tapi sampai hari ini aku masih diam. Mereka selalu tampak tertutup dan tak ramah pada perempuan tak berjilbab. Mereka selalu duduk berkelompok, tertawa-tawa dan bicara seolah tidak ada manusia lain di sekitarnya. Mereka selalu tampak eksklusif, dan mereka tak pernah tersenyum kepadaku, meski aku menatapnya dengan ramah.

Ah, jadi ingat, minggu lalu ada peristiwa menyebalkan. Aku sedang setengah mati belajar dan menulis tanggapan untuk buku Bowling Alone-nya Putnam di perpustakaan. Tiba-tiba seorang perempuan berjilbab duduk di sebelahku tanpa permisi. Aku tersenyum kepadanya, tapi dia tak membalas senyumanku. Aku terus membaca dan menulis. Tiba-tiba dua perempuan berjilbab lainnya menyusul, duduk di mejaku. Mereka, ohhh... (agak marah kalau ingat itu), mereka, tanpa permisi, tanpa minta maaf, langsung saja sibuk bergossip, dengan suara keras, sahut-menyahut, sementara aku yang terjebak di sudut meja itu sedang memeras otak agak bisa mendapat nilai lebih dari 8 untuk teori komunikasi politikku. Mereka tidak buta, aku yakin itu. Mereka pasti bisa melihat bahwa aku, yang sebetulnya lebih dulu duduk di meja itu, sedang sibuk dengan segepok copy bab-bab diktat kuliah. Mereka, bila cukup beradab, harusnya tahu bahwa ruangan tempatku duduk itu disebut sebagai "study room", ruang belajar! Dan, dalam etika akademik manapun, tidak seharusnya mereka malah bergossip di study room, apalagi dengan seorang mahasiswa yang jelas-jelas sedang sibuk belajar di sebelahnya.

Aku ingin menegur, tapi aku tahu, aku ngga akan bisa menyembunyikan rasa kesalku. Aku ngga mau membuat "saudari-saudariku" yang mungkin juga sedang puasa, merasa kesal karena teguranku. Aku memutuskan untuk pindah dari meja itu, dengan cukup marah, dan kecewa, melihat kelakuan perempuan, yang selalu menyebut diri mereka "sister", tapi lupa bahwa di bumi ini, ada hubungan antar mahluk, di luar lingkaran eksklusif perempuan muslimah - yang dalam hal ini ditampilkan secara simbolik dengan jilbab besar mereka, yang harusnya juga mereka hargai, meski aku tak otomatis mengucapkan "Assalammualaikum" saat melihat mereka, meski aku tak memakai jilbab, meski mukaku tak kelihatan seperti perempuan Timur Tengah!

Sudahlah, sekarang, kembali ke bis nomor 10 sore itu. Aku memutuskan untuk tersenyum pada perempuan berjilbab hitam itu. Dia tersenyum canggung, tapi aku cukup senang melihat senyuman itu. Aku selalu ingin mengajak perempuan-perembuan berjilbab asing itu bicara, tapi aku tak pernah cukup berani untuk mencoba. Aku membayangkan penolakan, aku membayangkan kritik mereka tentang bagaimana seharusnya aku berpakaian, bahkan sebenarnya aku agak ragu untuk benar-benar datang ke Amina Bazaar, karena aku telah terlalu banyak bertemu saudara-saudara muslimku yang "tidak terlalu suka" dengan penampilanku.

Kami turun di pemberhentian yang sama. Aku tersenyum lagi kepadanya, tapi dia membuang muka. Trotoar di Central Avenue penuh daun-daun berwarna kuning yang gugur. Sesekali angin bertiup, dan tumpukan daun-daun mungil itu tersibak, terbang menjauh atau mendekat. Aku baru sadar kalau belakangan ini aku suka berjalan dengan kepala tertunduk.... bersambung...

No comments: