Gambar ini diambil dari Quotes Parade
Bersedihlah saat kau
ingin, namun bersedihlah hanya di hadapan orang-orang yang kau percaya.
Saya sering
berusaha untuk terlihat kuat. Saya hampir tak pernah menangis di
hadapan orang-orang yang menurut saya tak terlalu saya kenal, di mana “orang-orang
yang tak terlalu saya kenal” meliputi teman-teman biasa, dan terutama,
rekan-rekan kerja saya.
Orang yang tak terlalu mengenal saya menganggap saya
sebagai orang yang datar. Lempeng,
kata beberapa orang yang telah melihat ekspresi datar saya setelah kehilangan
dompet, setelah putus cinta, atau setelah (seharusnya) sakit hati dihina orang.
Beberapa tahun belakangan, saya memang tak pernah cukup ekspresif menunjukkan
rasa senang, sedih, atau kesal di luar dinding tempat tinggal saya, atau di
luar meja tempat saya mengobrol bersama para sahabat.
Saya telah banyak
belajar, melalui beberapa pengalaman yang kurang menyenangkan, bahwa berbagi
perasaan sejujurnya kerapkali tak berbuah baik. Di bumi yang entah kenapa sekarang terlalu banyak populasi penggosipnya ini, membuka diri berarti menyiapkan
diri untuk menjadi bahan gosip. Saya tahu betul bahwa saya tak suka menjadi
bahan gosip, maka saya harus menjaga diri baik-baik agar cerita hidup saya tak menjadi bahan mentah yang siap diolah, lalu disajikan sebagai menu selingan di acara nongkrong bareng atau
makan malam.
Hal lain yang membuat
saya enggan membuka diri, selain enggan menjadi bahan gosip adalah sifat kebanyakan
orang yang reduksionis. Banyak orang yang, entah mengapa, sesukanya mengurangi
dan membuat cerita dari cerita saya, yang ketika saya kembali mendengarnya, menimbulkan
efek seperti voice command canggih di telepon-telepon selular pintar; otomatis membuat
saya mengangkat alis, membuat jantung saya serasa berhenti sesaat hingga melewatkan
satu detakan, dan membuat dada saya tiba-tiba terasa sesak.
Untungnya, mendalami ilmu komunikasi
membuat saya makin paham bahwa memang begitulah cara otak kebanyakan orang bekerja.
Setiap individu bukanlah audience
yang netral. Mereka punya pengalaman hidup, kepercayaan, dan sudut pandang yang
berbeda. Apapun informasi yang mereka dengar akan diolah oleh mesin-mesin
penangkap arti yang setelannya sudah tak netral itu. Maka, tadaaaaaa... jangan kaget
ketika kita mengungkapkan sebuah cerita pada seseorang yang latar belakang
pengalaman hidup, pekerjaan, dan kepercayaannya jauh berbeda dengan kita,
cerita pun akan berevolusi menjadi cerita versi mereka. Dan kita, setelah
mengangkat alis dan dengan dada sesak, akan berdehem berusaha melonggarkan
tenggorokan, lalu agak terbata berkata, “aku yakin, waktu itu aku nggak bilang
begitu lho...”
Orangtua saya yang
bijaksana keras mengajarkan betapa saya tak perlu bicara hal-hal yang tak perlu
dibicarakan kepada orang-orang yang tak begitu saya kenal. Dan ini terutama urusan
kesedihan. Kenyataannya, sepanjang perjalanan cerita-cerita sedih di hidup
saya, saya juga telah belajar bahwa sejatinya cuma ada satu atau dua orang
sahabat sejati yang betul-betul peduli dan menemani kita melewati masa-masa
sedih itu, dalam diam, atau melalui kesediaan mereka menjadi teman berbincang
hingga lewat tengah malam.
Sisanya, orang-orang yang
tak terlalu dekat dan sebenarnya tak terlalu peduli itu akan sibuk membagikan
cerita kita dalam berbagai kesempatan yang mereka punya, meskipun didahului dengan
disclaimer, “eh, jangan bilang-bilang ya....”
Saya telah belajar bahwa
sahabat sejati itu tak pernah terlihat kepo, menunjukkan rasa ingin tahu
yang berlebihan hingga terasa mengganggu. Saya telah belajar, bahwa sahabat sejati itu ada di sisi kita
atau nun di seberang lautan, di samping layar komputernya atau menggenggam pesawat
teleponnya, bersedia menjadi teman berbagi kita kapanpun, tanpa pernah berisik
menjadi penerus cerita kita kepada pihak-pihak yang tak perlu mendengarkan.
Saya telah belajar, bahwa sahabat sejati itu sangat mumpuni dijadikan tempat
bersandar yang nyaman, seperti bantal yang empuk, yang rela menampung air mata
yang tumpah berjam-jam saat kita menangis siang-malam, lalu terlelap. Ia terasa
nyaman disanding dan disandari saat senang atau sedih, saat kita ingin
istirahat terlentang, miring, atau tengkurap.
Bersama sahabat sejati,
kita tak perlu mengulang cerita dari awal, karena bersamanya, arsip-arsip kisah
hidup kita tersimpan rapi. Dengan sistem yang lebih canggih dari komputer
manapun, di kepalanya, sahabat sejati tahu bagaimana sebuah peristiwa membuat kita
bersedih, dan ia tahu, apa yang membuat kita akan merasa lebih bahagia.
1 comment:
selamat menjalankan ibadah puasa Asri....#meninggalkan jejak, memulai lagi masuk duniaku yang sudah lama hilang..:-)
Post a Comment