Monday, August 17, 2009

Cerita dari Padang Eucalyptus

Dua hari yang lalu aku mengirimkan tulisanku ke Kompasiana. Tulisan berjudul Cerita dari Padang Eucalyptus itu adalah catatan kecilku tentang makna kemerdekaan bagi warga eks pengungsi Timor Timur di desa Manusak dan Raknamo, Kupang, NTT. Dua desa itu adalah tempat terakhirku bekerja sebelum aku berangkat ke Albany.

Berikut catatan perjalanku dari Manusak dan Raknamo....

Lima hari menjelang ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, Agustus 2008.
Kami menyusuri jalan raya di Kupang, melewati daerah-daerah bekas tempat tinggal sementara pengungsi eks Timor-Timur, deretan lahan pertanian, lalu berbelok ke sebuah jalan sempit menuju desa Manusak. Semakin jauh kami meninggalkan jalan utama, semakin aku melihat bahwa tak banyak yang bisa tumbuh di sana. Pohon-pohon pisang, jagung dan singkong tampak kerdil bila dibandingkan pohon pisang, jagung dan singkong di tanah Jawa, Bali dan Sumatra.

Rerumputan meranggas. Kuning atau kecoklatan, seolah musim kemarau telah terlalu lama mendera. Anak-anak kecil berlarian di bahu jalan. Kulitnya hitam terpanggang matahari, rambutnya yang ikal memerah, kaki-kakinya telanjang tersaput debu. Mataku tak bisa lepas dari pemandangan di luar mobil ber-AC-ku, dan telingaku mendengar penjelasan-penjelasan kecil dari teman-temanku.
“Sumur ini sudah rusak pompa airnya.”
“Mereka panen setahun sekali.”
“Sulit sekali mencari air di sini…”


Anak-anak ini mengikuti rombongan tim survey Rainbow Community,
mendaki bukit-bukit yang mengelilingi desa, bertelanjang kaki


Bila saat menuliskan cerita ini kembali mataku panas dan berkaca-kaca, saat itu tak ada rasa lain di hatiku selain merasa berdosa. Berdosa sebagai perempuan yang sudah terlalu beruntung, lahir di tanah yang ijo royo-royo, gemah ripah loh jinawi, mengaku cinta Indonesia namun tak pernah benar-benar tahu bagaimana wajah Indonesia seutuhnya.
Aku melewatkan masa kecilku di tahun '80-an, di sebuah desa kecil di Kabupaten Banyumas, di kaki gunung Slamet yang dikelilingi sawah-sawah subur yang dipanen setahun tiga kali. Aku merasakan nikmatnya nasi hangat pulen sehari tiga kali, dan kadang-kadang, saat kangen makan singkong Bapak akan memboncengku di belakang motor Suzuki FX warna hitamnya ke sebuat warung yang khusus berjualan singkong segar di sudut jembatan Kali Pelus. Di seberang jalan raya, di dekat lapangan Sriwijaya ada sebuah pabrik tapioca yang sudah ada di situ sejak jaman penjajahan Belanda, di mana temanku Paryati bekerja menguliti singkong dengan sebilah golok besar sepulang sekolah.
Di pasar Sokaraja, grontol jagung dan gethuk adalah makanan kecil. Buat kami, jagung dan singkong adalah pilihan menyenangkan di samping nasi. Sokaraja sendiri terkenal dengan gethuk goreng-nya. Semuanya adalah bukti bahwa produksi singkong melimpah ruah di samping produksi beras. Satu-satunya masa di mana aku dan keluargaku terpaksa makan beras jatah yang apek adalah saat krisis moneter di tahun 1998. Saat itu aku sudah merasa sangat sengsara.

Di pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial kami menghapalkan (ya, ya, hafalan adalah ciri khas pendidikan Indonesia!) berbagai cerita tentang Indonesia. “Makanan pokok di Jawa adalah nasi, di Timor Timur jagung, dan di Irian Jaya sagu…” Ah. Bahkan mengingat itupun hatiku terasa terganggu. Di kurikulum 1984 nama Papua, Nanggroe Aceh Darussalam, dan Makassar tak ada di dalam buku pelajaran. Papua adalah Irian Jaya, Nanggroe Aceh Darussalam adalah Daerah Istimewa Aceh, dan Makassar adalah Ujung Pandang. Ketika nama asli pun tak lagi punya tempat di buku-buku pelajaran sekolah, ilmu pengetahuan macam apakah yang diajarkan?

Kembali ke cerita tentang makanan pokok, hampir semua guruku, yang lahir-besar-dan bersekolah di Jawa, tak pernah memberitahuku bahwa jagung di Timor sebagian besar tumbuh di lahan tandus. Kupikir semua kebun jagung tampak subur seperti kebun jagung yang kulihat di sebanjang rel kereta api menuju Kalibagor, atau semanis deretan kebun jagung di Wonosobo dan Temanggung. Kupikir seluruh Indonesia tampak seperti pulau Jawa. Hijau dan subur. Saat ini aku jadi ingin memprotes Koes Plus yang bilang bahwa di Nusantara “tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Aku ingat beberapa guruku, yang mencontek retorik a la para penguasa Orde Baru, menceritakan tentang betapa suburnya Indonesia dengan mengutip lagu itu. Buat kami yang tak pernah melihat sisi lain Indonesia, cuma membaca buku dan melihat Berita Nasional jam 7 malam di TVRI yang seringkali diisi dengan berita tentang Bapak Presiden yang bersafari panen raya di mana-mana, tentu saja SELURUH Indonesia tampak sebagai tanah yang subur dan kaya raya.

Di Manusak, pohon-pohon eucalyptus raksasa memagari jalan. Tingginya menjulang, menggapai langit biru Timor yang selalu membuat mataku silau karena cerahnya. Aku yakin Eucalyptus itu sudah ratusan tahun umurnya, berdiri tegak jauh sebelum buku-buku wajib IPS untuk Sekolah Dasar di jamanku diterbitkan oleh Balai Pustaka. Eucalyptus adalah bukti vegetasi di tanah yang arid – kering dan tak subur. Berada di Manusak, aku merasa berada di sebidang tanah yang sebelum ini cuma kulihat di foto-foto yang menggambarkan tanah Afrika. Terlalu polos? Mungkin iya. Mungkin juga inilah buah pendidikan yang tak terlalu lebar membuka jendela dunia.


"Padang Eucalyptus" di sepanjang jalan menuju Manusak dan Raknamo

Manusak yang kami tuju adalah sebuah desa yang dijadikan sebagai perkampungan eks pengungsi Timor Timur. Berbatasan dengan Manusak adalah desa Raknamo. Di dua desa itu para eks pengungsi Timor Timur tinggal di pemukiman barunya.

Aku yakin teman-teman masih ingat, di tahun 1999 diadakan referendum di Timor Timur, di mana masyarakatnya memilih untuk merdeka atau tetap menjadi bagian dari Pemerintah Indonesia. Ratusan ribu masyarakat Timor Timur memilih untuk mengungsi ke Indonesia. Selain beberapa di antara mereka memilih untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia, banyak pula yang mengungsi ke wilayah Timor Barat atau NTT karena merasa tidak aman berada di sebuah Negara baru yang masih labil kondisi ekonomi dan keamanannya.

Aku tak sanggup membayangkan sedihnya meninggalkan kampung halaman dalam kondisi darurat seperti di tahun 1999. Tak hanya rumah, tanah pertanian, dan binatang ternak yang mereka tinggalkan, tapi juga cerita hidup dan ‘akar’ keberadaan mereka. Tercabut dari tanah kelahiran dan melajutkan kehidupan di tanah baru membuat hidup seperti terlumpuhkan sementara. Seperti halnya cerita klasik diaspora lainnya, mereka selalu mengenang tanah kelahirannya. Budayanya. Apa yang dulu mereka miliki dan apa yang mereka tinggalkan, dan cerita bahwa mereka ingin kembali lagi suatu saat nanti, ketika Timor Leste sudah menjadi Negara yang lebih ramah dan aman.

Bagiku, Manusak adalah ironi. Mereka memilih meninggalkan Timor demi kehidupan yang mereka pikir akan lebih baik. Namun lihat di mana mereka tinggal hari ini. Rumah-rumah sederhana berdinding pelepah lontar dibangun berjajar di lereng bukit tandus. Tanah yang cuma bisa ditanami singkong dan jagung yang kurus. Sumur-sumur yang dibangun beberapa lembaga swadaya masyarakat kering tak berair. Satu-satunya sumber air yang terus mengalirkan air adalah sebatang pipa PVC kecil yang terhubung dengan sebuah sumur di perumahan TNI.


Maria, gadis kecil ini setiap hari bertugas mencari air di sungai musiman ini.
Umurnya baru 6 tahun, dan dengan jerigen kecilnya dia mendaki bukit, mengantarkan air buat mamanya.
Seperti halnya sungai-sungai di Timor lainnya, sungai ini selalu banjir saat musim hujan, namun tak lagi berair sejak bulan Mei hingga November.

Anak-anak mereka bersekolah di sebuah sekolah dasar nun di puncak bukit. Sekolah itu dibangun oleh UNHCR, badan pengungsi PBB yang memiliki Angelina Jolie sebagai dutanya. Sekolah yang berdinding batang lontar, cuma terdiri dari tiga kelas berlantai tanah, dikelola oleh tiga orang istimewa: seorang Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah dan TU yang merangkap sebagai guru. Anak-anak kelas satu sampai kelas tiga belajar diatas terpal yang digelar di halaman sekolah yang berdebu, sementara kelas empat sampai kelas enam di dalam ruang kelas, karena jam pelajaran mereka lebih panjang. Sekolah itu tak punya sumur dan toilet, apalagi perpustakaan atau UKS. 150 siswa dari Manusak dan Raknamo bersekolah di sana. Aku tak tahu apakah mereka pernah mendengar tentang Angelina Jolie. Bila iya, mungkin mereka akan bingung dan sulit untuk percaya, bagaimana mungkin sekolah ini dibangun oleh sebuah lembaga yang mempekerjakan selebriti kaya raya yang punya rumah mewah di mana-mana?

Seorang siswa kelas empat bercerita, kalau mereka ingin ke belakang, mereka harus turun ke desa, berjalan menuruni bukit, 40 menit perjalanan jauhnya. Dan bila kebutuhan mendesak itu terjadi, biasanya mereka tak akan kembali lagi ke sekolah karena jauhnya. Bila hujan deras turun, bapa atau mama guru sering tak bisa datang karena rumah mereka jauh di balik bukit dan jalan yang mereka lalui berlumpur parah.

Hari itu, saat kami berkunjung Bapak Kepala Sekolah sedang mengikuti penataran di Kupang, seorang guru lainnya sakit, dan hanya ada satu orang mama guru yang terpaksa mengajar enam kelas sekaligus, 150 siswa. Kadang anak-anak pulang lebih awal karena mama guru terlalu lelah mengajar begitu banyak siswa. Aku tak habis pikir, berusaha memahami keputusan UNHCR untuk membangun sebuah sekolah dasar di tempat seperti itu. Bukankah sekolah seharusnya merupakan fasilitas yang terintegrasi dengan wilayah pemukiman? Bagaimana cara pikir mereka, mengetahui bahwa pendidikan di Sekolah Dasar adalah 6 tahun, dan memutuskan hanya membangun 3 ruang kelas? Sungguh, sangat sulit untuk tidak merasa marah dan kecewa…

Belakangan aku tahu bahwa untuk membangun pemukiman baru bagi para eks pengungsi itu, pemerintah daerah harus bernegosiasi dengan para pemimpin adat di wilayah yang dituju. Biasanya para pemimpin adat, raja-raja kecil itu akan memberikan tempat yang tak dihuni masyarakat asli. Dan tentu saja, tempat – tempat itu kebanyakan adalah wilayah paling tandus dari seluruh wilayah desa yang ada. Di situlah para penghuni baru memulai lagi kehidupannya.

Seandainya aku bagian dari mereka, akankah aku merasa dikhianati? Dikhianati oleh kepercayaanku, bahwa Indonesia, dan masyarakat Indonesia akan memperlakukanku dengan lebih baik daripada para penguasa baru dan milisia di tanah kelahiranku? Akankah aku merasa bahagia, bahwa setidaknya aku memiliki KTP Indonesia, mengirimkan anakku ke sebuah sekolah dasar negeri yang mengajarkan Bahasa Indonesia, berharap dengan demikian suatu hari nanti anak-anakku akan memiliki masa depan yang lebih luas, seluas wilayah Indonesia?

Melihat anak-anak berseragam putih merah itu aku termenung. Seberapa jauh mereka akan meneruskan hidupnya? Letak Manusak cukup jauh dari jalan utama Kabupaten, jauh dari SMP terdekat, di mana mereka perlu naik angkutan umum atau punya kendaraan sendiri untuk bisa sampai ke sana. Dengan minimnya hasil panenan singkong dan jagung mereka, aku melihat masa depan terhenti di ujung jalan desa. Tak ada biaya untuk mengirimkan anak-anak manis ini ke sekolah yang lebih tinggi. Selama di sana, tak satupun aku melihat sepeda. Setidaknya Lintang di Laskar Pelangi masih bisa mengayuh sepedanya melintasi paya-paya. Bagaimana dengan anak-anak ini?

Merah-Putih berkibaran di perkampungan eks pengungsi


Bendera-bendera merah putih berjajar di jalan kampung yang berdebu. Anak-anak kecil yang berlarian mengikutiku lahir di wilayah NKRI. Dibuahi, tumbuh menjadi janin dan lair saat orangtua mereka masih berstatus pengungsi. Bicara dalam Bahasa Tetun, namun fasih menyanyikan lagu Indonesia Raya dan menghormat bendera. Untuk menyampaikan ungkapan terimakasih, bapa dan mama di sana mengajariku kata “abrigado”. Kata yang bukan Bahasa Tetun, pun bukan Bahasa Indonesia. Abrigado adalah kata dalam Bahasa Portugis untuk “terima kasih”. Cukuplah untuk menjelaskan, betapa panjang sudah perjalanan tertempuh sebagai warga negara suatu bangsa.

Bapa dan mama yang telah keriput dan beruban itu lahir saat Timor-Timur masih menjadi “milik” Portugis. Lalu di tahun 1976 mereka menjadi Warga Negara Indonesia. Hari ini pun mereka masih menjadi Warga Negara Indonesia, namun rasanya dengan makna yang berbeda. Beberapa ratus kilometer jauhnya, orang-orang di tanah kelahiran mereka telah menjadi warga Negara asing. Beberapa jengkal jauhnya, penduduk asli Manusak dan Raknamo, serta pemerintah Indonesia melihat dan memperlakukan mereka seperti orang asing.

Aku tak berani bertanya, apakah mereka mencintai Indonesia. Aku punya terlalu banyak alasan untuk mencintai negeriku karena aku telah mendapatkan begitu banyak keistimewaan, nun di belahan lain pulau di Indonesiaku. Namun mereka tak sepertiku. Alam yang keras dan berbagai gejolak politik memutarbalikkan nasib mereka sebagai warga suatu Negara. Melihat jauh dan berlikunya jalan yang mereka tempuh untuk tetap menjadi warga Negara Republik ini, aku tak berani untuk bertanya apakah mereka mencintai Indonesia.

Aku cuma bisa tergugu melihat deretan merah putih yang berkibar di kampung kecil itu. Apakah maknanya buat mereka?


Aku di bawah pohon Eucalyptus. Sebesar inilah kebanyakan pohon Eucalyptus di sana


Kapel kecil di jalan menuju SD Manusak/Raknamo.
Setiap hari Minggu Kapel sekecil dan sesederhana ini ini menampung lebih dari 200 keluarga pengungsi!

Kesederhanaan tak melunturkan kuatnya iman warga "pendatang baru" ini...

Lonceng gereja. Digantung di sebuah pohon di sisi kiri kapel...


Raknamo, dilihat dari bukit.
Dedaunan hijau yang tampak di belakang adalah pohon eucalyptus atau lontar



Anak-anak berambut ikal kemerahan ini sangat manis dan ramah :)



Agustus baru bermula, namun tanah di Manusak sudah sekering ini

tari Likurai, warisan budaya Tetun


Senyuman itu...


SD Manusak





*Terimakasih banyak untuk teman-temanku di CIS Timor dan Austcare, yang sudah mengajakku belajar lebih banyak tentang 'perjuangan' untuk menjadi bagian dari bangsa ini. Selamat, telah mengerjakan Rainbow Community Project sepanjang tahun 2008 - 2009 ini dan membangun SD Raknamo menjadi tempat yang lebih layak untuk belajar, membangun sumur yang menyediakan lebih banyak air dan balai pertemuan serta pelatihan pertanian dan keterampilan bagi warga Manusak dan Raknamo! :)*

3 comments:

ugie said...

numpang menikmati foto. salam....

Anonymous said...

Cerita yang menarik. He he, "mereka" sekarang sudah tambah senang. Manusak dan Raknamo semakin nyaman ditempati.

Bahasa Pemrograman said...

blognya keren mbak, pengen deh punya blog kayak gini
boleh ya numpang link, sekalian sudilah kiranya berkunjung dan memberi hujatan buat kemajuan seo nya
makasih
http://www.bahasakomputer.tk